“Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari peraturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Saat kebijakan ini diterapkan, tentu akan ada berbagai alat pendukung yang menyertainya,” kata Airlangga
Ia menambahkan, sektor seperti pangan dan kebutuhan pokok akan dikecualikan dari kenaikan ini, dengan PPN-nya ditanggung pemerintah.
Dalam pernyataan resmi Kemenko Perekonomian, penyesuaian tarif ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan lebih adil, optimal, dan berkelanjutan. Kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan.
“Kenaikan pendapatan negara diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, khususnya untuk menutupi defisit anggaran. Hal ini akan berkontribusi pada pemeliharaan stabilitas ekonomi jangka panjang,” ujar Kemenko Perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan ditunda, meskipun mendapat kritik.
“Kebijakan ini merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapannya dilakukan dengan penjelasan yang baik, bukan secara membabi buta,” katanya,
Ia juga menekankan pentingnya kebijakan ini untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengusulkan alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara.
“Pemerintah bisa memperluas basis pajak atau menggaet wajib pajak baru. Selain itu, pengoptimalan penerimaan negara non-pajak juga harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Esther juga menyarankan penerapan skema multi tarif untuk PPN, di mana barang kebutuhan pokok dikenakan tarif lebih rendah, sementara barang mewah dikenakan tarif lebih tinggi. Kebijakan seperti ini dinilai dapat memberikan keseimbangan bagi masyarakat.